Catatan Cak AT: Pajak Picu Rakyat Bergolak

by -48 Views
banner 468x60
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Pajak, Rakyat Bergejolak. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Pajak, Rakyat Bergejolak. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Pagi itu di Kota Cirebon, Kang Falah — pensiunan guru yang hidup damai bersama pohon mangga di halaman — mendadak pucat pasi. Di tangannya, selembar surat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Angkanya tidak lagi enam jutaan seperti tahun-tahun lalu.

Kali ini tertulis Rp 63 juta. Kang Falah mengucek mata, takut salah baca. Mungkin ini nota cicilan kapal pesiar atau tagihan hotel bintang lima di Dubai. Tapi tidak, ini PBB rumahnya sendiri, rumah yang gentingnya lebih tua dari walikotanya. Ternyata, Kang Falah bukan satu-satunya. Fenomena ini menyebar seperti wabah fiskal.

banner 336x280

Di Pati, kenaikan PBB mencapai 250%, di Jombang, Jeneponto, Solo, dan Semarang 400%, Bone dan Malang 300%, Banyuwangi “lebih sopan” hanya 20%.

Baca juga: Brand dan Penjual Lokal Setara Merek Global Unjuk Prestasi di Lazada Seller Partner Awards 2025

Kenaikan pajak bumi dan bangunan di Cirebon malah menembus sampai 1.000%. Kalau ini bukan kenaikan, namanya teleportasi tarif pajak. Dan ini barulah data yang terkuak; bisa jadi 90% daerah di Indonesia sedang memainkan nada yang sama.

Dampaknya tidak sekadar angka di kertas. Di Pati, protes berubah menjadi demonstrasi besar, korban berjatuhan. Di Jombang, kantor Pemda digeruduk massa. Rakyat Cirebon sudah panas dipicu demo besar rakyat Pati yang berhasil menggoyahg kursi bupatinya.

Bupati Jombang, Warsubi, lebih terbuka menyebut sumber masalah. Ia mengakui bahwa kenaikan itu bukan kemauan sendiri, melainkan hasil rekomendasi pemerintah pusat melalui Kemendagri dan Kemenkeu, bahkan dengan ancaman sanksi jika kepala daerah menolak.

Baca juga: Buku Ngebir Sebelum Sholat: 30 Kisah Rasa untuk Hari Kemerdekaan ke-80 RI

Jadi kepala-kepala daerah di sini ibarat operator pompa bensin. Mereka menunggu sinyal pusat, lalu memutar tuas. Hanya saja, masalahnya, yang naik bukan harga BBM, melainkan harga bertahan hidup di rumah sendiri.

Sejarah dunia, termasuk Indonesia, mencatat bahwa pajak yang mencekik hampir selalu menjadi titik awal gejolak rakyat. Kebijakan pajak yang menekan rakyat kerap menjadi sumbu pemberontakan, dari Revolusi Amerika hingga Perang Diponegoro dan pemberontakan Banten.

Pada masa VOC dan Hindia Belanda, pajak tanah dan hasil bumi memicu Perang Diponegoro (1825–1830) yang menelan ratusan ribu korban. Di Banten, 1888, pajak kepala dan kerja paksa menyalakan pemberontakan petani. Di Aceh, pajak upeti menjadi bara yang mengobarkan perang panjang melawan Belanda.

Baca juga: Hari Kemerdekaan, Oknum Polisi Polrestro Depok Tembak 3 Orang Remaja, 2 Orang Kritis

Bahkan, Boston Tea Party (1773) di Amerika Serikat memicu Revolusi AS hanya gara-gara pajak teh. Pemberontakan Petani di Inggris (1381) meletus karena pajak kepala yang memberatkan. Polanya tak berubah: ketika negara menjadikan rakyat sapi perah fiskal, rakyat akhirnya memilih menjadi banteng perlawanan.

Ibnu Khaldun, sejarawan dan filsuf Muslim terkemuka, pada abad ke-14 telah menulis siklus ini dalam kitab karyanya, al_Muqaddimah. Ia menarik teori bahwa di awal berdirinya negara, pajak masih rendah, ekonomi bergairah, rakyat pun makmur.

Namun seiring waktu, penguasa mulai memanjakan diri dengan proyek-proyek raksasa, membengkakkan anggaran, dan mencari dana cepat lewat pengenaan pajak tinggi pada rakyat. Semua hal dikenakan pajak, demi pemasukan negara.

Baca juga: Indonesia Raih Perunggu di Kejuaraan Speed Slalom International di Lishui China

Akibatnya, kata Ibnu Khaldun, rakyat enggan berusaha, produksi merosot, dan penerimaan negara pun ikut runtuh. Akhir cerita: negara goyah dan runtuh. Dalam bahasa sederhana: pajak tinggi memang bisa memberi uang cepat, tapi sama seperti overdosis kopi — awalnya segar, akhirnya jantung berhenti.

Ironisnya, di negeri kita kali ini, kenaikan pajak ini beriringan dengan proyek mercusuar: MBG Rp 300 triliun, IKN Rp 1.400 triliun, Giant Sea Wall Rp 1.200 triliun, Kereta Cepat Jakarta–Surabaya Rp 800 triliun, hingga pembelian jet tempur Kaan dan robot anjing Polri.

Semua terdengar mewah, tapi tagihannya jatuh di meja rakyat, termasuk meja makan keluarga yang penghasilannya habis sebelum akhir bulan. Tanah tempat tinggal yang sebetulnya bukan properti produktif dikenakan pajak dengan kenaikan ribuan persen.

Baca juga: Hari Kemerdekaan, 862 Warga Binaan Rutan Depok Terima Remisi, 36 Langsung Bebas

Pemerintah seharusnya tahu membedakan antara must have dan nice to have. Rumah rakyat itu kebutuhan, bukan kemewahan. Pemiliknya bisa saja lansia yang tak lagi berpenghasilan, atau keluarga yang bahkan menunggak listrik. Memajaki mereka sampai puluhan juta setahun sama saja meminta bayi membayar cicilan pesawat tempur.

Dalam pandangan syariat, ada garis terang antara pungutan yang adil dan yang zalim. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (yang zalim) berada di neraka,” sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.

Negara maupun petugas pemungut pajak, menurut hadits tadi, punya beban ancaman masuk neraka. Ini bukan sekadar ancaman ukhrawi, tapi penegasan bahwa pajak yang menindas rakyat adalah bentuk kezaliman yang kelak harus dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Catatan Cak AT: Merayakan Endek Bali

Ketika rumah sederhana yang tidak menghasilkan sepeser pun keuntungan tiba-tiba dikenai PBB puluhan juta, wajar jika rakyat merasa diperlakukan bukan sebagai warga negara, melainkan ladang perahan. Dan kezaliman seperti itu, dalam sejarah maupun dalam ajaran agama, hanya punya satu akhir: perlawanan.

Keadilan fiskal bukanlah utopia. Negara bisa memungut pajak dengan cara yang tidak melukai: pajak progresif berdasarkan kemampuan riil, bukan sekadar luas tanah; penghentian proyek mercusuar yang hanya memanjakan ego kekuasaan.

Lebih penting lagi, seperti digagas Anies Baswedan, pembebasan pajak bagi kelompok tertentu. Sebab, memeras rakyat demi membiayai mimpi-mimpi raksasa hanyalah cara tercepat untuk mengulang bab kelam sejarah — bab tentang saat rakyat berkata, “Cukup.” (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/8/2025

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.