Keputusan Publik Kerap Abaikan Sains-Etika, Pendidikan Indonesia Dinilai Abaikan Fondasi Kemanusiaan

by -59 Views

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Lebih dari 500 guru dari berbagai daerah Indonesia berkumpul di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama, Yogyakarta, Sabtu (20/12/2025), dalam forum Ngkaji Pendidikan yang digelar Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Alih-alih membahas metode pembelajaran terbaru, forum ini justru mengajukan pertanyaan mendasar: apakah pendidikan Indonesia masih membangun manusia, atau sekadar menyiapkan tenaga kerja?

Founder GSM, Muhammad Nur Rizal, mengatakan tema Human & Education Reset dipilih karena pendidikan dinilai terlalu lama terjebak pada perbaikan teknis, sementara fondasi kemanusiaan terabaikan.



Reset bukan restart. Reset berarti menata ulang sistem dengan kembali ke mode dasar manusia: cara berpikir, cara merasa, dan cara mengambil keputusan. Krisis hari ini bukan kekurangan teknologi, melainkan krisis nalar dan kebijaksanaan,” kata Rizal.

Untuk menjelaskan gagasannya, Rizal mengajak peserta menengok letusan Gunung Tambora tahun 1815. Peristiwa tersebut memicu pendinginan global yang dikenal sebagai The Year Without Summer, menyebabkan gagal panen, krisis pangan, migrasi besar-besaran, hingga instabilitas politik di Eropa dan Amerika Utara.

“Tambora menunjukkan bahwa bencana bukan semata peristiwa alam. Ia menjadi bencana karena bertemu dengan ketidaksiapan manusia,” ungkap Rizal.

Narasi tersebut kemudian ditarik ke bencana ekologis di Sumatera saat ini. Data yang

dipaparkan menunjukkan deforestasi masif sejak 1990-an telah mengubah fungsi hutan secara drastis. Saat hutan masih utuh, koefisien run sangat baik, sekitar 90 persen air hujan diserap tanah dan hanya 10 persen mengalir ke sungai. Setelah alih fungsi besar-besaran, kondisi itu berbalik: hanya sekitar 10 persen air terserap, sementara 90 persen menjadi limpasan permukaan yang memicu banjir bandang dan longsor.

“Ini bukan semata anomali iklim. Ini akibat paradigma pembangunan yang melihat hutan

sebagai ruang transaksi investasi, bukan sebagai sistem ekologis,” lanjutnya.

Ironisnya, kerugian ekonomi akibat bencana jauh lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam. Rizal menyoroti data forest rent Indonesia, nilai bersih ekonomi dari eksploitasi hutan, yang turun dari sekitar 0,81 persen PDB menjadi sekitar 0,4 persen, seiring rusaknya hutan dan menurunnya produktivitas jangka panjang.

Kita merusak hutan, tapi tidak menjadi kaya. Yang kita wariskan justru kerugian ekonomi, sosial, dan ekologis,” tegasnya.

Forum ini juga menyoroti apa yang disebut Rizal sebagai Paradoxical World. Di satu sisi,

manusia hidup di era kecerdasan buatan dan teknologi paling maju; di sisi lain, keputusan publik justru semakin sering mengabaikan data, sains, dan etika.

“AI bukan masalah utamanya. Masalahnya adalah ketika manusia menyerahkan proses berpikir kepada mesin, padahal mesin belajar dari data masa lalu manusia, termasuk bias dan kesalahan kita,” ujar Rizal.

Menurutnya, pendidikan terlalu fokus pada adaptasi teknologi, tetapi abai melatih manusia untuk berpikir jernih, membaca realitas, dan mengambil keputusan etis. Akibatnya, kecerdasan meningkat, tetapi kebijaksanaan tertinggal.

Rizal menilai manusia hari ini telah memegang ‘Api Prometheus’, yakni nalar dan teknologi, namun tanpa kebijaksanaan. Karena itu, human reset menjadi prasyarat sebelum education reset dijalankan.

Sebagai jalan keluar, Rizal menekankan pentingnya Education Reset melalui pendekatan liberal arts, bukan sebagai mata pelajaran baru, melainkan sebagai kerangka berpikir.

Liberal arts bukan kurikulum Barat atau mata pelajaran tambahan. Ia adalah alat untuk

memulihkan manusia dalam berpikir, merasa, dan bertindak,” katanya.

Rizal menjelaskan bahwa pendidikan saat ini kehilangan dua hal sekaligus: alat berpikir

(trivium: logika, bahasa, retorika) dan rasa keteraturan alam (quadrivium: numerik dan harmoni alam). Tanpa keduanya, pendidikan berisiko melahirkan manusia yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara moral.

Gagasan ini, menurut Rizal, sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang

menempatkan pendidikan sebagai proses menuntun manusia agar utuh dan merdeka, bukan sekadar terampil.

Ngkaji Pendidikan berakhir tanpa deklarasi atau rekomendasi kebijakan. Namun kegelisahan yang tersisa justru menjadi pesan utamanya.

“Jika pendidikan terus mencetak manusia pintar tetapi tidak bijak. Kita tidak sedang

membangun masa depan, melainkan menyiapkan krisis berikutnya,” katanya.

Pertanyaan itu kini diarahkan ke publik: jika data tersedia, sains berkembang, dan teknologi semakin canggih, mengapa keputusan kita justru semakin merusak? Dan apakah pendidikan masih membangun manusia atau justru sebaliknya?

Ngkaji Pendidikan meninggalkan kesan mendalam bagi peserta. Riyanto, guru dan pegiat GSM dari Pekalongan, mengatakan forum ini menghadirkan refleksi yang jarang ditemui dalam pelatihan formal.

“Materi seperti ini seharusnya didapat guru-guru di Indonesia. Dari awal sampai akhir tidak ada yang meninggalkan kursinya. Acara besar, materi mahal, tapi gratis. Semua hadir dengan biaya mandiri, tanpa SPPD, bahkan dari luar kota dan luar pulau seperti Tangsel, Bogor, Pangandaran, Pemalang, Jepara, Pekalongan, Semarang, Rembang, Surabaya, Bondowoso, hingga Kalimantan,” ujarnya.