Pakar Ekonomi Ingatkan Risiko Redenominasi Rupiah: Tak Urgen dan Bisa Picu Inflasi

by -8 Views
banner 468x60
Redenominasi (ilustrasi). FOTO: Freepik
Redenominasi (ilustrasi). FOTO: Freepik

SEKITARSURABAYA.COM, SURABAYA — Guru besar bidang ekonomi moneter dan perbankan Universitas Airlangga (Unair) Prof. Wasiaturrahma menyoroti gagasan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang Rupiah yang kembali mencuat.

Ia menilai, wacana tersebut tidak mendesak dan justru menyimpan berbagai risiko bagi stabilitas ekonomi nasional.

banner 336x280

Menurut Prof. Rahma, kondisi ekonomi global yang belum stabil menjadi alasan kuat mengapa pemerintah perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru melaksanakan redenominasi.

“Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yang komplain dan bilang harus redenominasi,” ujarnya, Kamis (13/11/2025).

Ia menyebut, justru ada potensi gejolak harga barang-barang kebutuhan pokok jika redenominasi dipaksakan saat ini.

“Banyak barang yang harganya masih seribu atau dua ribu. Kalau seribu jadi satu rupiah, barang-barang itu akan sulit naik secara pecahan. Akibatnya, ketika harga menyesuaikan, bisa menyebabkan inflasi,” kata dia.

Selain aspek ekonomi, Prof. Rahma juga mengingatkan risiko dampak psikologis di tengah masyarakat. Ia menilai perubahan nominal uang berpotensi menimbulkan persepsi kemiskinan baru di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Jangan lupa dampak psikologisnya. Sekitar 190 juta rakyat kita masih hidup dengan 50 ribu rupiah per hari. Kalau itu tiba-tiba menjadi 50 rupiah, mereka bisa merasa seperti mendadak jadi miskin,” jelasnya.

Lebih jauh, Prof. Rahma menyoroti kondisi global yang belum kondusif. Ia menilai situasi fiskal banyak negara besar masih goyah, termasuk Amerika Serikat yang mengalami defisit anggaran hingga 6 persen.

“Probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi memang hanya sekitar 30 persen, tapi angka itu tergolong tinggi di pasar keuangan global. Ini bisa berdampak ke Indonesia karena ekonomi kita masih rentan terhadap tekanan eksternal, pertumbuhan yang melambat, serta persoalan struktural domestik yang belum tuntas,” ujarnya.

Selain itu, Prof. Rahma menilai peran perbankan dan lembaga keuangan dalam mendukung kebijakan redenominasi masih belum optimal. Ia khawatir, minimnya sosialisasi dan kesiapan sistem justru bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

“Bagi masyarakat awam, redenominasi bisa disalahartikan sebagai pemotongan nilai uang atau sanering. Kalau ini terjadi, bukan tidak mungkin muncul panic buying dan kepanikan di pasar,” ungkapnya.

Prof. Rahma pun meminta pemerintah lebih berhati-hati dalam mengumumkan kebijakan sensitif seperti redenominasi.

“Saat ini masyarakat sedang berjuang menjaga kestabilan keuangan rumah tangga akibat pelemahan ekonomi dan terbatasnya lapangan kerja baru. Jadi sebaiknya pemerintah tidak terburu-buru dengan wacana seperti ini,” kata dia.

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.