Profil Ponpes Lirboyo, Pesantren Bersejarah di Tanah Kediri

by -6 Views
banner 468x60

Daftar Isi


Surabaya, CNN Indonesia

banner 336x280

Pondok pesantren (Ponpes) Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, adalah sebuah lembaga pendidikan agama yang legendaris di nusantara.

Ponpes Lirboyo telah tegak berdiri sebagai benteng ilmu agama Islam dan adab lebih dari satu abad lamanya. Melansir dari Lirboyo.net, ponpes itu didirikan KH Abdul Karim pada 1910 silam.

Awalnya, Lirboyo hanyalah nama sebuah desa kecil di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.  Daerah yang kemudian dikenal dengan nama Lirboyo, pada tahun 1908, telah dihuni sekitar 40 kepala keluarga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melansir situs resmi Kelurahan Lirboyo https://kel-lirboyo.kedirikota.go.id, dulu desa ini dikenal sebagai sarang perampok dan penyamun. Namun, segalanya berubah ketika ulama kharismatik dari Banjarmlati, Kediri, KH Sholeh, meminta menantunya, KH Abdul Karim yang asal Magelang menetap di Lirboyo.

KH Abdul Karim diminta mengubah Lirboyo dari tempat kejahatan menjadi pusat dakwah Islam.

Sejarah singkat

Sebelum menetap di Desa Lirboyo, KH Abdul Karim sempat mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng asuhan KH Hasyim Asy’ari yang juga menjadi teman sebayanya ketika berguru di Syaikhona Kholil Bangkalan.

Lalu KH Abdul Karim menikah dengan Nyai Khodijah binti KH Sholeh dari Banjarmlati, Kediri. Sejak pernikahan itulah ia menetap di Desa Lirboyo.

Saat pertama kali pindah ke Lirboyo, KH Abdul Karim membangun surau dan pondok sederhana. Seiring waktu, mulai berdatangan pemuda desa untuk belajar agama.

Jumlah mereka yang menekuni agama Islam di sana terus bertambah, hingga terbentuklah sebuah komunitas santri yang tekun belajar kitab-kitab klasik.

Setelah KH Abdul Karim wafat pada 1954, pesantren ini dikembangkan dua menantunya yakni KH Marzuqi Dahlan dan KH Mahrus Aly.

Di tangan KH Marzuqi Dahlan dan KH Mahrud Aly, Lirboyo tumbuh pesat. Santri berdatangan dari berbagai penjuru Nusantara.

Generasi demi generasi, Ponpes Lirboyo menjadi penopang kuat tradisi salafiyyah dan mempertahankan metode klasik seperti bandongan, sorogan, serta pengkajian kitab kuning yang menjadi ciri khas pesantren tradisional.

Pilar pendidikan

Dalam perjalanannya, pengasuh Ponpes Lirboyo terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Dari KH Marzuqi Dahlan yang mengasuh pondok itu pada 1954-1975. Selanjutnya, diteruskan KH Mahrus Aly (1975-1985), KH A Idris Marzuqi (1985-2014), dan KH M Anwar Manshur (2014-sekarang).

Lirboyo mempertahankan pola pendidikan klasik sambil membuka diri terhadap perkembangan zaman. Tiga prinsip utama pendidikan itu adalah Ta’lim yakni pengajaran ilmu-ilmu syariat seperti fikih, tafsir, hadits, dan bahasa Arab; Tarbiyah berupa pembentukan kepribadian dan mental santri; dan Ta’dib, pembinaan moral dan estetika, agar santri menjadi pribadi saleh secara agama maupun sosial.

Selain pengajian kitab salaf, Lirboyo juga memiliki lembaga formal mulai dari tingkat ibtida’iyah hingga Ma’had Aly, serta unit pendidikan tahfidz dan tartil Quran.

Ada pula lembaga Ittihadul Muballighin, sayap dakwah pesantren yang aktif mengadakan pengajian, safari Ramadan, dan pengiriman da’i ke berbagai daerah. Dari lembaga inilah, santri-santri Lirboyo menyebarkan ilmu dan dakwah ke seluruh penjuru negeri.

Kini, lebih dari 40.000 santri menimba ilmu di kompleks pendidikan keagamaan seluas sekitar 8 hektare tersebut.

Gedung-gedung megah berdiri berdampingan dengan kamar santri kuno yang masih dipertahankan sebagai situs sejarah. Di antara bangunan megah itu, terdapat pula Masjid, Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Ma’had Aly, RSU Lirboyo, hingga laboratorium bahasa dan komputer.

Benteng perjuangan

Mengutip NU Online, Lirboyo tak hanya dikenal karena keilmuannya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pesantren ini juga berperan besar melawan penjajah.

Pada masa awal kemerdekaan, ketika Mayor Mahfud, mantan anggota PETA, mengabarkan berita proklamasi RI kepada KH Mahrus Aly, para santri langsung bergerak.

Sebanyak 440 santri berpartisipasi dalam operasi pelucutan senjata dan perebutan markas tentara Jepang.

Di bawah pimpinan KH Mahrus Aly, Mayor Mahfud dan Abdul Rahim Pratalikrama, markas yang mereka rebut kemudian menjadi cikal bakal Brigif 16 Kodam V Brawijaya. Tak berhenti di situ, santri-santri Lirboyo juga ikut serta dalam Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari.

Dengan truk dan senjata sederhana, para santri Lirboyo menuju Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan. Dalam pertempuran 10 November 1945, para santri Lirboyo berhasil merebut sembilan senjata musuh tanpa kehilangan satu pun pejuang.

Kini, lebih dari seabad berdiri, Pondok Pesantren Lirboyo bukan sekadar jadi lembaga pendidikan. Mereka juga jadi pusat peradaban Islam Nusantara yang melahirkan ribuan ulama, kiai, mubaligh, dan pemimpin bangsa.

Dari desa yang dahulu dianggap berbahaya, Lirboyo kini menjadi mercusuar ilmu dan akhlak, tempat ribuan santri menimba makna hidup dan mengabdikan diri untuk agama, bangsa, dan kemanusiaan. Seperti makna namanya, ‘Lirboyo’ yang berasal dari kata lir atau selamat, dan boyo atau bahaya. Pesantren itu pun ini menjadi simbol keselamatan dari kegelapan zaman.

(frd/kid)


[Gambas:Video CNN]

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.