Jakarta, CNN Indonesia —
Setiawan Muhammad mungkin bukan satu-satunya warga di Kecamatan Laweyan yang pernah tertekan soal isu pencemaran lingkungan terkait dengan proses batik puluhan tahun lalu. Dia pun bersama pembatik lainnya berpikir keras agar pekerjaan mereka tak menyumbang pencemaran sungai yang terbentang di kawasan Surakarta, Jawa Tengah itu.
Iwan, panggilan akrab Setiawan, bersama dengan warga lainnya memulai gerakan membatik ramah lingkungan dengan membangun pengelolaan limbah komunal. Tak hanya itu, Iwan mulai riset kecil-kecilan mencari formula lilin atau malam batik berkelanjutan.
Riset itu berlangsung belasan tahun hingga ada ide dari koleganya soal penggunaan sawit. Mereka akhirnya diberi sampel produk turunan kelapa sawit berupa hydrogenated palm stearin (HPS) pada 2022. Mulai dari sampel itu, mereka coba-coba membuat lilin batik berbahan dasar sawit.
“Karena kita concern dengan isu lingkungan, kita cobalah memproduksi lilin dengan kandungan awal (HPS) hanya 10 persen. Kita riset lagi, riset lagi, sampai 55 persen. Akhirnya menjadi malam batik dari sawit,” kata Iwan.
Hingga saat ini, ada 40 pengusaha batik di Laweyan yang sudah memakai lilin batik sawit. Mereka memproduksi sendiri lilin sawit itu dengan HPS yang dipasok langsung perusahaan sawit internasional Apical Group. Kelompok ini tergabung dalam Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FKBL).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam situs resminya, Kampoeng Batik Laweyan terdiri dari wilayah inti Kelurahan Laweyan, dan wilayah pengembangan meliputi kelurahan Bumi, Purwosari, Sondakan dan Pajang.
Iwan menyebut lilin batik yang diproduksi dengan bahan baku dari Apical berkualitas baik. Kualitasnya setara dengan lilin batik yang selama ini dipakai para pembatik. Selain itu, para pengusaha batik bisa menghemat pengeluaran gas dua kali lipat karena waktu lelehnya jauh lebih cepat. Jika menggunakan lilin biasa, gas LPG 3 kg habis dalam waktu dua hari.
Dengan lilin batik sawit, gas yang sama bisa dipakai hingga empat hari. Selain itu, warna yang dihasilkan lilin batik sawit lebih cerah dibandingkan lilin berbahan dasar minyak bumi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengungkap persoalan lingkungan batik terdapat sedikitnya pada bahan pewarna dan pengelolaan limbah. Pewarna sintetis dan tak memiliki Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) menjadi persoalan yang kerap mewarnai industri tersebut.
“Industri batik masih melekat dengan proses produksi yang mengabaikan kondisi lingkungan sekitar,” demikian Peneliti Bidang Keberlanjutan UMS Etika Muslimah dalam situs resmi universitas. “Misalnya penggunaan pewarna sintetis, malam sekali pakai, pengunci warna, hingga pengelolaan limbah industri yang buruk.”
Terkait dengan pewarrna, Ketua FPKBL Alpha Febela Priyatmono mengatakan lilin batik sawit menjadi salah satu jawabah untuk isu keberlanjutan. Para pembatik Laweyan, kata dia, perlahan meninggalkan lilin konvensional yang berbahan dasar parafin.
“Bagi saya yang paling penting adalah menggantikan bahan yang tidak renewable, tidak terbarukan dengan bahan yang terbarukan dan tersertifikasi sustainable,” ujar Alpha dalam Peluncuran Lilin Batik Kelapa Sawit Berkelanjutan: Perpaduan Warisan Budaya dan Praktik Berkelanjutan di Inacraft 2025 di JICC, Jakarta, Rabu (5/12).
Produksi ini merupakan hasil kolaboratif dengan pelbagai pihak terkait upaya untuk menuju produk yang lebih ramah lingkungan.
Dukungan sawit untuk UMKM
Head of Corporate Communications Apical Group Prama Yudha Amdan mengatakan ide untuk pemanfaatan sawit sebagai bahan baku lilin batik sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Apical, ucapnya, terus berinovasi untuk mengembangkan pemanfaatan sawit.
Dia menuturkan komoditas itu bisa memenuhi begitu banyak kebutuhan manusia dengan teknik pengolahan yang baik.
“Yang saya lihat pertama sawit di dalam proposisi yang sangat singkat itu dari dapur sampai avtur. Jadi all over the aspects di-cover sama kelapa sawit,” kata Yudha.
Pada saat bersamaan, ada ide dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk menggunakan sawit sebagai bahan baku lilin batik. Pada momen itulah produk kelapa sawit Apical bertemu tangan-tangan terampil pembatik Laweyan.
Mereka bekerja sama menciptakan formula terbaik lilin batik berkelanjutan. “Resep paling mahal sebenarnya dari teman-teman FPKBL yang menemukan formulasi yang baik. Kami dari industri sifatnya mendukung UMKM, apalagi saat ini mereka tertekan batik murah,” ujar Yudha.
RSPO sebelumnya menyatakan penggunaan lilin berbahan dasar minyak sawit pada produk batik mulai diperkenalkan pada 2021 lalu. Ini adalah hasil penelitian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Stearin yang digunakan sebagai lilin batik dapat menghasilkan warna yang lebih tajam dan cerah.
“Ke depan, peralihan menuju minyak sawit berkelanjutan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan FPKBL, sebagai pelaku industri batik terkemuka dan tolok ukur keberlanjutan,” demikian RSPO.
Yudha menyatakan dukungan Apical kepada pembatik di Laweyan merupakan inisiatif untuk mendorong UMKM, khususnya perajin batik Laweyan, ke arah praktik berkelanjutan.
![]() |
Yudha berharap inovasi batik sawit ini bisa memberi nilai tambah kepada batik-batik buatan perajin Indonesia. Apalagi Indonesia diberkati status produsen terbesar kelapa sawit dunia. “Ketika nanti malam batik ini sudah go to the commercial level, itu jadi value added yang tidak dimiliki oleh kompetitor lain karena palm kita produsen terbesar,” kata Yudha.
Saat ini, para perajin di Laweyan sudah mencetak 500 kilogram batik sawit dengan dukungan Apical. Mereka siap memproduksi 1-10 ton lilin batik sawit per bulan untuk seluruh pembatik di Indonesia.
Yudha menyatakan Apical siap menyokong kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan demi keberlanjutan batik Laweyan. Tak hanya itu, dia menambahkan, Apical pun berkomitmen memproduksi turunan sawit berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Di sisi lain, cerita Laweyan juga menjadi bukti bahwa inisiatif berkelanjutan dapat dilakukan di pelbagai level termasuk para perajin batik, ‘harta’ yang dijaga secara turun-temurun.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sendiri menyatakan Laweyan menjadi salah satu destinasi Wisata Kreatif dari 10 kampung batik.
Sembilan lainnya adalah Sentra Batik Trusmi Cirebon; Sentra Batik Palbatu Jakarta; Kampung Batik Kauman Pekalongan; Kampung Batik Semarang; Kampung Batik Giriliyo Yogyakarta; Kampung Batik Girli Kliwonan Sragen; Sentra Batik Lasem Rembang; Kampung Batik Jetis Sidoarjo; Kampung Batik Putat Jaya Surabaya.
“Perjalanan industri kriya di Laweyan sudah dimulai sejak abad ke-19,” demikian kementerian tersebut. “Hingga saat ini kampung batik Laweyan telah memproduksi sekitar 250 motif batik khas dan telah dipatenkan.”
Hari ini, Iwan beserta warga Laweyan lainnya bisa berbangga hati. Mereka tak hanya penjaga warisan leluhur ratusan tahun silam, tapi juga benteng untuk menjaga masa depan.
(dhf/asa)